Dwi Sari (Foto: detikHealth)Jakarta, Saat datang ke Alor Nusa Tenggara
Timur (NTT) tahun 2005, Dwi Sari mengaku menangis. Bukan karena
ditugaskan di daerah terpencil yang membuatnya menangis tapi karena
melihat kondisi warga yang tidak terurus, perut anak-anak yang buncit
dan kebiasaan berak (BAB) sembarangan.
"Tidak tega saya melihatnya, karena di kota saya tidak melihat kondisi seperti itu tapi ternyata kok masih banyak anak-anak dengan kondisi seperti itu," ungkap Dwi Sari, yang dinobatkan menjadi Sanitarian Teladan 2011.
"Tidak tega saya melihatnya, karena di kota saya tidak melihat kondisi seperti itu tapi ternyata kok masih banyak anak-anak dengan kondisi seperti itu," ungkap Dwi Sari, yang dinobatkan menjadi Sanitarian Teladan 2011.
Dwi
yang merupakan tenaga kesehatan (sanitarian) lulusan Poltekes Negeri
Surabaya ini, berusaha dengan tekun dan sabar untuk mengubah kebiasaan
warga agar mau BAB (Buang Air Besar) di jamban (kakus).
Agar bisa
diterima masyarakat, Dwi rajin ke rumah-rumah warga untuk bergaul dan
melakukan pendekatan dengan masyarakat. Seluruh atribut sebagai anak
kota ia tanggalkan, agar warga tidak membuat jarak kepada dirinya.
Dwi
tidak mau mengeluh tentang susahnya hidup di daerah baru tapi
pelan-pelan ia menyatu dengan warga. Dwi menuturkan bahwa agar bisa
diterima oleh masyarakat, maka pendatang sebaiknya tidak menganggap
dirinya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat sekitar.
"Tidak
bisa kita datang-datang langsung mau mengubah kebiasaan mereka, jadi
kita harus bisa memasuki dunia mereka terlebih dahulu. Dan sekarang
masyarakat sudah bisa menerima dengan baik meski kita adalah pendatang,"
ujar Dwi saat ditemui di detikHealth di acara Menkes menerima 132
Tenaga Kesehatan teladan Tingkat Nasional 2011 di gedung kemenkes
Jakarta, seperti ditulis, Rabu (17/8/2011).
Tidak mudah memang
mengubah suatu kebiasaan yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat, tapi
Dwi tidak pernah patah semangat. Dengan mengajak serta kader-kader
Posyandu, lambat laun kebiasaan warga buang air besar di laut atau di
sembarangan tempat mulai berubah.
"Saya bekerja sama dengan
kader-kader dari Posyandu, karena mereka lebih mengerti masalah yang ada
di sana seperti siapa saja yang masih suka BAB sembarangan atau
keluarga mana yang belum memiliki jamban," ungkap perempuan kelahiran
Ponorogo, 28 Oktober 1979.
Dengan memberdayakan kader-kader
Posyandu tersebut, masyarakat jadi mau menceritakan masalah apa yang
dihadapinya terutama di bidang kesehatan, sehingga nantinya Dwi bisa
mencari solusi untuk masalah tersebut.
Usaha Dwi dan bantuan
warga lainnya mengubah kebiasaan masyarakat agar mau BAB di jamban
memang tidak singkat. Misalnya saja pada tahun 2007 ada 1 desa yang
hanya memiliki 30 jamban dari 176 rumah. Bahkan ada satu desa di
Kabupaten Alor yang tidak memiliki air bersih sama sekali, jadi
masyarakat di sana hanya mengandalkan air dari tampungan air hujan saja.
Air ini termasuk digunakan untuk BAB.
Tapi data terakhir yang
ada menunjukkan sudah ada 164 rumah yang memiliki jamban sendiri. Untuk
masyarakat yang sangat miskin, Dwi memberikan ide membuat jamban
gabungan dari beberapa rumah melalui gotong royong yang bisa digunakan
bersama-sama.
"Awalnya hanya sekitar 40-45 persen masyarakat yang
memiliki jamban, dan saya ingin mengubah kebiasaan masyarakat itu. Data
yang ada sekarang sudah hampir 100 pesen masyarakat disana punya
jamban," ujar Dwi yang bekerja di Puskesmas Kokar Kabupaten Alor, NTT.
Masalah
lain yang dihadapi oleh masyarakat di daerah kepulauan terpencil ini
adalah saat musim gelombang tinggi atau angin kencang yang secara
otomatis asupan sembako dari luar pulau akan terhambat. Ia menuturkan
kadang harga 1 butir telur bisa mencapai Rp 5.000.
"Kalau tidak
ada makanan, kita makan makanan lain seperti ubi atau jagung, karena
masyarakat disana tidak tergantung dengan nasi," ujar Dwi.
Dengan
terpilihnya sebagai salah satu tenaga kesehatan teladan nasional, Dwi
berharap ia bisa terus melanjutkan program sanitasi di daerah tersebut
dengan menyediakan jamban-jamban bagi masyarakat. Hal ini karena program
penyediaan jamban merupakan kebutuhan utama dan mendasar untuk
kesehatan warga.
"Saya berharap tenaga kesehatan yang lain mau
melanjutkan program sanitasi PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) untuk
masyarakat di daerah terpencil dan kurang pendidikan, karena mereka
perlu diperhatikan," ujar Dwi, si orang muda yang sangat mencintai
negerinya ini.
(sumber:detikhealth.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar